Senin, 30 Januari 2012

ASAL KEJADIAN PEREMPUAN

Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13,


Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.(QS. Al-Hujurat ayat 13)

Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia - baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah SWT. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.

Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki - potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.

Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa, ayat 1:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak.

Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.

Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar, tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka memahami arti nafs dalam arti "jenis." Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI adalah pendapat mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah "pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.

Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok.
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan: "Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).

Hadis diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan (kebenaran) hadis tersebut.
Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis di atas memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki - hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat di atas menegaskan bahwa perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan. "

Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim, demikian Rasyid Ridha (Tafsir Al-Manar IV: 330)

Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat 70,

Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan. (QS. Al-Isra' ayat 70)

Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, Demikian pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang menyatakan,

Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ...

Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya.

Dengan konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:

Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS Ali 'Imran [3]: 195)

Ayat ini dan semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dalam konteks pembicaraan tentang asal kejadian ini, sementara ulama menyinggung bahwa seandainya bukan karena Hawa, niscaya kita tetap akan berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan semacam upaya mempersalahkan perempuan.

Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena sejak semula Allah telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan manusia sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga karena dari ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran Adam dan Hawa diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti,
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya... (QS, Al-A'raf [7]: 20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga itu, dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya... (QS Al-Baqarah [2]: 36).

Kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan berbentuk tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah,

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dan berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS Thaha [20]: 120).

Demikian terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya, serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian kaum perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar