Istilah vulkanisme berasal dari kata latin vulkanismus nama
dari sebuah pulau yang legendaris di Yunani. Tidak ada yang lebih
menakjubkan diatas muka bumi ini dibandingkan dengan gejala vulkanisme
dan produknya, yang pemunculannya kerap kali menimbulkan kesan-kesan
religiuos. Letusannya yang dahsyat dengan semburan bara dan debu yang
menjulang tinggi, atau keluar dan mengalirnya bahan pijar dari lubang
di permukaan, kemudian bentuk kerucutnya yang sangat mempesona, tidak
mengherankan apabila di masa lampau dan mungkin juga sekarang masih ada
sekelompok masyarakat yang memuja atau mengkeramatkannya seperti halnya
di pegunungan Tengger (Gn.berapi Bromo) di Jawa Timur.
Vulkanisme
dapat didefinisikan sebagai tempat atau lubang di atas muka Bumi di
mana dari padanya dikeluarkan bahan atau bebatuan yang pijar atau gas
yang berasal dari bagian dalam bumi ke permukaan, yang kemudian
produknya akan disusun dan membentuk sebuah kerucut atau gunung.
Adapun
sejumlah bahan-bahan yang dikeluarkan melalui lubang, yang kemudian
dikenal sebagai pipa kepundan, terdiri dari pecahan-pecahan batuan yang
tua yang telah ada sebelumnya yang membentuk tubuh gunung-berapi,
maupun bebatuan yang baru sama sekali yang bersumber dari magma di
bagian yang dalam dari litosfir yang selanjutnya disemburkan oleh gas
yang terbebas. Magma tersebut akan dapat ke luar mencapai permukaan
bumi apabila geraknya cukup cepat melalui rekahan atau patahan dalam
litosfir sehingga tidak ada waktu baginya untuk mendingin dan membeku.
Terdapat
dua sifat dari magma yang dapat memberikan potensi untuk bertindak
demikian, dan itu adalah pertama kadar gas yang ada di dalam magma dan
yang kedua adalah kekentalannya. Sebab-sebab terjadinya vulkanisme
adalah diawali dengan proses pembentukan magma dalam litosfir akibat
peleburan dari batuan yang sudah ada, kemudian magma naik ke permukaan
melalui rekahan, patahan dan bukaan lainnya dalam litosfir menuju dan
mencapai permukaan bumi.
Wilayah-wilayah
sepanjang batas lempeng di mana dua lempeng litosfir saling
berinteraksi akan merupakan tempat yang berpotensi untuk terjadinya
gejala vulkanisme. Gejala vulkanisme juga dapat terjadi di
tempat-tempat di mana astenosfir melalui pola rekahan dalam litosfir
naik dengan cepat dan mencapai permukaan. Tempat-tempat seperti itu
dapat diamati pada batas lempeng litosfir yang saling memisahkan diri
seperti pada punggung tengah samudera, atau pada litosfir yang
membentuk lantai samudera.
Tidak
semua gunung-berapi yang sekarang ada di muka Bumi ini, memperlihatkan
kegiatannya dengan cara mengeluarkan bahan-bahan dari dalam Bumi. Untuk
itu gunungapi dikelompokan menjadi gunung berapi aktif, hampir berhenti
dan gunung-berapi yang telah mati. Gunung-berapi yang digolongkan
kedalam yang hampir mati, adalah gunung-gunung-berapi yang tidak
memperlihatkan kegiatannya saat ini, tetapi diduga bahwa gunungapi itu
kemungkinan besar masih akan aktif di masa mendatang. Biasanya
gunung-berapi ini memperlihatkan indikasi-indikasi ke arah bangunnya
kembali, seperti adanya sumber panas dekat permukaan yang menyebabkan
timbulnya sumber dan uap air panas, dll. Gunung berapi yang telah mati
atau punah adalah gunung berapi yang telah lama sekali tidak
menunjukkan kegiatan dan juga tidak memperlihatkan tanda-tanda ke arah
itu.
Erupsi gunungapi
Gunung
berapi di samping merupakan gejala geologi yang berupa keluarnya
bahan-bahan yang bersumber dari magma, baik itu yang berwujud sebagai
gas, lelehan maupun benda padat berupa fragmen-fragmen batuan ke
permukaan Bumi, dinamakan erupsi atau erupsi gunung-berapi. Erupsi
dapat dikelompokan berdasarkan :
1. Jenis
bahan yang dikeluarkan melalui lubang kepundan, atau lokasi dari tempat
keluarnya bahan-bahan dari magma. Berdasarkan jenis bahan yang
dikeluarkan, kita mengenal sebutan erupsi efusif apabila bahan yang
dikeluarkan hampir seluruhnya terdiri dari lelehan magma yang disebut
lava. Sedangkan sebutan erupsi piroklastik, apabila bahan yang
dikeluarkan sebagian besar terdiri dari fragmen-fragmen batuan, abu dan
gas.
2. Erupsi
juga dapat dikelompokan berdasarkan lokasi atau letak serta bentuk dari
tempat keluarnya bahan-bahan magma dari dalam Bumi. Keluarnya
bahan-bahan tersebut dapat melalui suatu lubang di permukaan Bumi yang
dihubungkan dengan pipa ke dalam magma, atau suatu rekahan yang
mencapai tempat berhimpunnya magma.
Untuk ini dikenali adanya 2 (dua) tipe erupsi, yaitu:
a. Erupsi
sentral, apabila tempat ke luarnya bahan-bahan itu berupa lubang yang
yang dihubungkan dengan pipa, atau kepundan, dan berada di bagian
tengah dari tubuh gunung-berapi;
b. Erupsi rekahan, apabila bahan-bahan berasal dari magma dikeluarkan melalui rekahan dalam kerak bumi yang bentuknya memanjang.
Rekahan
seperti itu terjadi sebagai akibat dari gejala regangan pada kerak yang
sedang memisah diri. Bahan yang dikeluarkan melalui erupsi seperti ini
umumnya berupa lelehan pijar dari magma atau lava. Meskipun pada
umumnya bentuk erupsi sentral yang terdapat pada gunung-berapi terutama
di darat berbentuk lubang yang dihubungkan dengan pipa, namun tidak
tertutup kemungkinan juga dapat berupa rekahan. Umumnya lokasi erupsi
berlangsung pada bagian tengah puncak gunung-berapi, tetapi
kadang-kadang juga terjadi pada bagian lereng. Dan apabila ini yang
terjadi, maka gejala tersebut dinamakan “flank” atau “lateral
eruption”.
Adapula
erupsi gunung-berapi terjadi pada pada bagian kaki gunung-berapi, maka
erupsi seperti itu dinamakan erupsi eksentrik atau erupsi parasitik.
Erupsi yang berlangsung pada bagian puncak dinamakan juga erupsi
terminal, sedangkan yang terjadi pada bagian lereng disebut
sub-terminal. Keduanya selalu dianggap sebagai erupsi puncak, di mana
yang sub-terminal merupakan pemisahan saja dari erupsi terminal. Erupsi
puncak tidak akan menyebabkan penurunan terhadap kedudukan dari dapur
magma, sedangkan erupsi eksentrik justru akan menyebabkan peningkatan
kegiatan gas dibagian puncaknya.
Gerak dari bahan-bahan piroklastika
Bahan
piroklastika yang dikeluarkan saat terjadinya erupsi gunung-berapi,
selanjutnya dapat dialirkan dari pusatnya ke wilayah sekitar
gunung-berapi dengan media gas yang keluar bersama piroklastik, atau
melalui media air meteorik. Dengan bantuan media gas : Awan panas atau
“glowing avalance” atau “nu’ee ardente”. Sifat-sifat fisik dan
karakteristik dari awan panas ini dipelajari dari erupsi gunungapi
Mt.Pele’e di Kepulauan Martinique yang terjadi pada bulan Mei 1902,
yang telah menghancurkan kota pantai St.Pierre dan menewaskan hampir
30.000 penduduknya. Karena bentuk awannya yang saat itu sangat
menonjol, maka fenomena tersebut diberi nama “awan pijar”, yang
sebenarnya adalah terdiri dari fragmen-fragmen pijar yang mengalir
dengan kecepatan tinggi melalui lembah sebagaimana halnya aliran lava
atau air.
Awan
yang terlihat sebenarnya adalah hanya debu yang naik ke udara dari
aliran tersebut. Karena itu istilah awan akhir-akhir ini cenderung
untuk dirubah menjadi “glowing avalance”. Kecepatan laju awan panas
yang menghampiri kota St.Pierre, diperkirakan mencapai 150 km per jam.
Di Indonesia gunung-berapi yang juga dilaporkan menyemburkan awan panas
adalah G. Merapi di Jawa-Tengah. Di sini awan panas karena warnanya
yang putih dan turun mengikuti lereng, dinamakan “wedhus gembel”.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan setelah kejadian
tersebut, yang juga melibatkan gunung-gunungapi lainnya yang
memperlihatkan erupsi seperti itu. Letusan dari gunung-berapi Soufriere
yang terletak berdekatan dengan Pulau St.Vincent, juga memperlihatkan
fenomena yang sama seperti di Mt.Pele’e. Kemudian Neumann van Padang
(1933) juga melaporkan kejadian yang sama pada letusan Gunung Merapi di
P. Jawa tahun 1930.
Berdasarkan
penelitian terhadap bahan yang diendapkan oleh awan panas, ternyata
sebagian besar fragmen-fragmennya ternyata terdiri dari batuan yang
baru membeku dari magma. Hanya sedikit sekali, kurang dari 5% yang
diperkirakan berasal dari batuan yang telah ada dari dinding atau pipa
kepundannya. Dari pengamatan tersebut kemudian disimpulkan bahwa pada
saat terjadi erupsi, sejumlah gas yang berada dalam magma membebaskan
diri dan mengembang menyelimuti setiap bagian dari fragmen padat dan
sebagain lagi mungkin magma yang masih cair dan pijar, sehingga dapat
bergerak dengan kecepatan tinggi dan dengan suhu yang tinggi pula. Agak
berbeda dengan yang digambarkan oleh NEUMANN van PADANG mengenai hasil
letusan awan panas di Gunung-berapi Merapi di Jawa-Tengah pada tahun
1930. Menurutnya, sebahagian besar fragmen yang ada di dalam awan panas
adalah berasal dari batuan tua, dan hanya sedikit sekali merupakan yang
merupakan lava yang baru. Demikian pula yang terjadi pada letusan
gunung-berapi Stromboli pada tahun 1930, di mana seluruh massa awan
panas adalah bebatuan pijar berasal dari dinding kepundan. Didasarkan
kepada cara-cara mekanisma keluarnya awan panas dari kepundan, dapat
dibedakan adanya tiga tipe, yaitu : (a) Tipe Pele’e, (b) Tipe
Soufriere, dan (c) Tipe Merapi
a. Tipe Pele’e:
LACROAIX
(orang yang memberi nama “nue ardente”), melihat adanya bukti bahwa
semburan awal dari bahan dari awan panas itu arahnya horisontal yang
juga memberikan tekanan terhadap awan panas yang terjadi. Selanjutnya
dari laporan tertulis yang dibuat oleh F.A.PERRET (1930) pada letusan
Gunung-berapi Pe’lee yang terjadi pada tahun 1930 meskipun awan
panasnya lebih kecil dari letusan tahun 1902, dia menemukan bukti-bukti
baru yang dapat mengungkapkan bagaimana mekanisma gerak awan panas yang
dihasilkan gunung-berapi tersebut. Dia yakin bahwa pembentukannya
diawali oleh suatu letusan yang menyemburkan bahannya melalui suatu
sudut yang kecil. Menurut pengamatannya, “nue ardente” yang terjadi
adalah letusan dari lava itu sendiri yang terarah. Sumber lava yang
terkumpul dibawah kubah secara-diam-diam akan menghimpun energi.
Apabila kemudian meletus, maka ia akan menyembur melalui bagian yang
lemah dibawah kubah dan mengarah horisontal menyapu lembah, bukit,
menuruni lereng dan menyebar seperti kipas.
b. Tipe Soufriere :
Letusan
yang terjadi pada gunung-berapi Soufriere yang melanda St.Vincent
sifatnya agak berbeda dengan yang terlihat di gunung-berapi Pe’lee.
Seperti halnya di St.Pierre, awan panas juga keluar dari lubang
kepundan dan menuju ke lembah-lembah disekitarnya. Sebelum terjdi
letusan, pada bagian puncak gunug-berapi ini terdapat kepundan dimana
dasarnya ditutupi oleh danau yang dalamnya lebih dari 150 meter. Lereng
gunug-berapi ini agak landai dengan rata-rata sudut 15 . Sifat
letusannya agak berbeda dengan yang teramati di gunung-berapi Pe’lee.
Suhunya lebih rendah dan letusannya juga agak lemah Kemudian awan yang
disemburkan menuju kesegala arah (tidak pada arah tertentu seperti di
St.Pierre), dan bahkan keatas kaldera. Bahan yang dibawanya sebhagian
besar berukuran pasir dengan sedikit sekali yang berukuran lebih besar
apabila dibandingkan dengan gunung-berapi Pe’lee. Disimpulkan bahwa
bahan-bahan panas disemburkan vertikal keatas dan awan panas yang jatuh
kemudian menuruni lereng gunung-berapi.
c. Tipe Merapi
Para
pakar gunung-berapi di Pulau Jawa, berdasarkan pengamatan-2 yang
dilakukan terhadap pola letusan gunung Merapi, ternyata telah
menunjukkan adanya jenis mekanisma pembentukan awan panas lainnya
selain dari yang dua di atas. Kubah pada kepundannya terus tumbuh dan
lerengnya menjadi tidak mantap dan mulai runtuh serta menghasilkan
guguran-guguran fragmen pijar melalui lereng gunung-berapi tersebut.
Gunung-gunung-berapi yang mempunyai ciri-ciri yang sama seperti di
Merapi, antara lain yang terjadi pada gunung-berapi Fuego di Guetamala,
dan gunung-berapi Izalco di El Savador. Awan panas pada dasarnya
sedikit sekali atau hampir tidak mengendapkan bahannya di bagian lereng
gunung-api tersebut. Namun mereka mempunyai daya pengikisan yang kuat
dan mampu menoreh lembah-lembah. Pada dinding lembah akan dapat
dijumpai goresan-goresan sebagai akibat dari torehannya. Awan panas
umumnya akan mengendapkan bahan-bahannya di bagian yang landai dibawah
setelah kehilangan energinya. Endapannya terdiri dari pencampuran yang
sangat lekat berupa bahan berukuran halus (debu) dan bongkah-bongkah
menyudut dengan garis tengah beberapa meter serta kadang juga terdapat
batu-apung di dalamnya.
Tipe-tipe erupsi gunung berapi
1. Erupsi efusif: Erupsi
efusif berjalan tenang, tidak disertai letusan-letusan yang dahsyat dan
melibatkan lava yang bersifat basaltis. Umumnya tidak menghasilkan
piroklastik dalam jumlah besar.
2. Erupsi sentral: Melalui
satu lubang utama yang terletak ditengah, lava basaltis akan mengalir
kesegala arah dalam jumlah yang hampir sama. Erupsi-erupsi yang terjadi
berulang kali kemudian akan membangun sebuah gunungapi yang berbentuk
perisai. Gunung-berapi yang terjadi dengan cara seperti ini disebut
gunung-berapi perisai. Gunung-berapi ini mempuyai lereng yang sangat
landai karena lava basaltis yang encer yang mampu mengalir dalam jarak
yang jauh dari sumbernya, sehingga tidak mampu membangun kerucut yang
tinggi. Contoh klasik gunungapi tipe ini dan yang paling banyak
dipelajari adalah gunung-berapi yang membentuk Pulau Hawaii yang
terletak di Samudera Pasifik. Pulau Hawaii sendiri terdiri dari 5 buah
gunung-berapi perisai, dimana yang terbesar adalah Mauna Kea dan Mauna
Loa dengan ketinggian puncaknya masing-masing 4205 dan 4170 meter.
Dasarnya terletak pada dasar samudera yang dalamnya 5000 meter,
sehingga dengan demikian apabila diukur dari kakinya, maka
ketinggiannya mencapai 9000 meter. Dan ini adalah lebih tinggi dari
gunung tertinggi di darat yaitu Mt.Everest di Pegunungan Himalaya.
Mauna Loa dengan ketinggian seperti itu merupakan tumpukan lava dari
berulang kali erupsi sejak 750.000 tahun yang lalu.
3. Erupsi rekahan: Tipe
erupsi ini banyak dijumpai di wilayah lantai samudera. Rekahan terjadi
sebagai akibat dari proses pemisahan pada litosfir, atau interaksi
divergen lempeng litosfir, dengan ukuran panjang hingga beberapa puluh
kilometer. Contoh klasik erupsi rekahan seperti ini dijumpai di Iceland
yang terletak tepat diatas punggung-tengah-Samudera Atlantik. Lava yang
keluar dari rekahan seperti ini bersifat sangat encer, akan menyebar
ke-kedua arah dari rekahan dengan laju kecepatan hampir 20
kiliometer/jam. Urut-urutan ke luarnya lava akan membentuk suatu
dataran yang kadang tinggi dan disebut dataran basalt (plateau basalt)
, atau “flood basalt”.
Sepanjang
sejarah geologi barangkali erupsi rekahan yang berlangsung secara
berulang-ulang dan menghasilkan aliran basalt dalam jumlah yang sangat
banyak mungkin hanya terjadi di tempat-tempat tertentu di muka Bumi.
Sebagai contoh adalah “Dataran Deccan” yang terdapat di bagian barat
laut Jazirah India. Kemudian di wilayah dataran Columbia di negara
Bagian Washington dan Oregon hingga ke Idaho. Dalam ukuran yang agak
kecil dataran basalt juga dijumpai di selatan Vietnam, diutara Columbia
Inggris dan Patagonia. Demikian pula dalam ukuran yang lebih kecil dan
berumur lebih muda adalah di Afrika Selatan, Siberia Tengah, Abyssinia,
beberapa tempat di Amerika Utara dan Selatan. Di Amerika Keweenawan
Basalt, mengandung endapan tembaga dalam jumlah besar. Erupsi rekahan
yang pernah tercatat dalam sejarah sekarang adalah yang terjadi di
wilayah Iceland, yang terletak tepat diatas punggung-tengah Samudra
Atlantik. Erupsi terjadi pada tanggal 8 Juni 1783 melalui rekahan
sepanjang 32 kilometer.
4. Erupsi di bawah permukaan laut
Erupsi
efusif yang terjadi 300-1000 meter di bawah permukaan laut atau disebut
juga “submarine”, umumnya berlangsung tenang. Lava yang dikeluarkan
akan membeku dan membentuk lava bantal. Tipe erupsi ini sedikit sekali
mendapat perhatian karena terjadinya jauh di bawah pengamatan. Lava
yang membeku membentuk akan membentuk lava “bantal” (pillow lava).
Bentuknya melonjong dengan ukuran kurang dari 1.5 meter dan penampang
±30 cm, dengan dasar yang mendatar dan bagian atasnya membulat.
5. Erupsi piroklastik atau erupsi eksplosif
Erupsi
piroklastik terjadi pada magma yang kental, mengandung banyak gas dan
mempunyai sifat letusan berkisar antara sedang dan sangat dahsyat.
Erupsi explosif umumnya banyak menghasilkan piroklastika dan sedikit
lava. Karena sifat magmanya yang kental maka lava yang mengalir tidak
akan dapat menempuh jarak yang jauh dari sumbernya, lubang kepundan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar