Dalam ayat 159 surat al-Imran, Allah memperingatkan kepada Muhammad
SAW, agar bersikap lemah lembut dan sopan santun ketika mengajak
umatnya kepada ajaran agama Islam. Jangan sekali-kali berlaku kasar
kepada mereka meskipun belum menerima ajakannya bahkan Allah SWT
menganjurkan kepada Muhammad untuk mendoakan kebaikan mereka yang belum
taat ini pernah dilakukan nabi Muhammad ketika beliau mengajak orang
Taif masuk Islam, mereka bukan menerimanya dengan baik justru mereka
mengusir nabi dengan kasar bahkan mereka menyakitinya. Namun nabi tidak
marah bahkan mendoakan mereka:
Artinya; ya allah berikan petunjuk kepada kaumku karena mereka belum mengerti
Ini merupkan doa nabi Muhammad kepada orang-orang yang belum mau
mengikuti ajaran yang dibawanya yaitu bahwa yang harus disembah
hanyalah Allah. Perintah untuk bersifat lemah lembut kepada audien itu
betul-betul dilaksanakan oleh nabi, dalam menjalakan dakwahnya,
sehingga dalam waktu yang tidak lama dakwah beliau dapat diterima oleh
kalangan kafir yang semula sangat menentang ajakannya. Ini berkat
dakwahnya yang lembut dan tidak memusuhi.
Dalam ayat 160 Allah menegaskan kembali bahwa Allah selalu memberikan
pertolongan kepada hamba-hambaNya yang lemah lembut dan merendahkan
diri di hadapan Allah SWT, hamba-hambaNya yang santun dan tidak
menyombongkan diri, dan hamba-hambaNya yang senantiasa menyandarkan
diri sepenuhnya kepada Allah semata. Hamba yang pantas mendapatkan
pertolongan Allah itu adalah mereka yang telah membuktikan kesabarannya
dalam menghadapi berbagai goncangan, yang tetap istiqomah dan pantang
menyerah.
Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini adalah perintah
melakukan musyawarah, Ini penting, karena petaka yang terjadi diperang
uhud didahului oleh musayawarah yang disetujui oleh mayoritas kendati
demikian, hasilnya sebagaimana yang telah diketahui kegagalan hasil ini
beoleh jadi mengantarkan seseorang untuk berkesimpulan bahwa musyawarah
tidak perlu diadakan, apalagi bagi rasulullah, maka karena ayat ini
dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan yang
dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan
tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian tidak sebaik yang
diraih bersama.
Kata musyawarah terambil dari akar kata syawara yang pada mulanya
bermakana”mengeluarkan madu dari sarang lebah” makna ini kemudian
berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat.
Pada ayat ini disebutkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut
yang diperintahkan kepada nabi Muhammad untuk dilaksankan sebelum
musyawarah, penyebutan ketiga hal itu walaupun dari segi konteks
turunnya ayat mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan perang
Uhud namun dari segi pelaksanan dan esensi musyawarah, ia menghiasi
nabi Muhammad saw dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah
itu disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya
musyawarah dan bulatnya tekat.
Pertama, berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras.
Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi
pemimpin, yang pertama harus dihindari adalah tutur kata yang kasar
serta sikapmkeras kepala. Karena jika tidak maka mitra musyawarah akan
bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung oleh penggalan awal ayat
diatas.
Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam bahasa ayat
diatas: fa’fu ‘anhum. Maaf secara harfiah berarti menghapus. Memaafkan
adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang
dinilai tidak wajar. Itu perlu karena tiada musyawarah tanpa adanya
pihak lain. Sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan
sirnanya kekeruhan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar